Manajemen Pakan dan Kualitas Air pada Budidaya Ikan Lele (Clarias Geriepinus) dalam Ember di Desa Cipacing

1.         1. Manajemen Pakan

Pemberian dan manajemen pakan dalam budidaya ikan sangat penting diperhatikan, karena pakan adalah penentu kelangsungan hidup dan kualitas ikan saat panen. Karena itu, pemilihan jenis pakan, waktu pemberian, dan banyaknya porsi pakan untuk budidaya ikan menjadi sangat penting. Ketersediaan pakan untuk budidaya ikan merupakan satu satu faktor penting dalam menghasilkan produksi ikan yang maksimal. 

Menurut Khairuman (2003) dalam Simanjuntak, dkk (2017), syarat-syarat pakan yang baik adalah memiliki nilai nutrisi yang cukup, mudah diperoleh, mudah diolah, mudah dicerna, harga yang relatif murah, dan yang terpenting tidak mengandung racun. Dalam pemilihan pakan, terdapat perbedaan jenis pakan untuk bibit ikan dalam masa pembesaran dan ikan dalam masa penggemukan. Pada saat masa pembesaran, sebaiknya bibit ikan diberikan jenis pakan basah. Bahan baku pakan basah adalah pakan kering (pelet) yang diberi sedikit air agar lebih lembek dan mudah untuk dimakan ikan dengan usia bukaan mulut kecil (pelet apung). Sedangkan untuk ikan masa penggemukan, pemberian pakan bisa menggunakan pakan kering yaitu pelet yang tidak perlu ditambah air dalam komposisinya (pelet tenggelam). Selain komposisi, bahan baku dari pakan juga perlu diperhatikan. Bahan baku pakan harus memiliki kemudahan cerna yang baik sesuai dengan jenis ikan yang dibudidayakan.

Ikan lele merupakan salah satu hewan air pemakan segala (omnivora), baik tumbuhan maupun daging. Namun, yang harus lebih diperhatikan adalah kandungan gizi pada pakannya. Kandungan gizi minimal yang wajib ada dalam pakan utama, yaitu minimal 30% protein, 4-16% lemak, dan 15-20% karbohidrat, sisanya adalah mineral dan vitamin. Aturan pemberian pakan utama yaitu sekitar 3-6% ukuran/bobot tubuh ikan lele. Sekitar umur 2 minggu, kurangi pemberian pakannya menjadi sekitar 3% dari bobot ikan lele (Purwananti, 2020) Biasanya pakan utama untuk lele berupa pelet. Pelet adalah bentuk pakan yang terbuat dari campuran berbagai bahan pakan, biasanya komposisi dalam pelet sudah disesuaikan dengan kebutuhan ikan lele. Campuran bahan dalam pelet umumnya terdiri dari aneka tepung, bungkil kedelai, bungkil kelapa, mineral, dedak, minyak, dan macam-macam vitamin lainnya. Pelet terdiri dari 2 jenis, yaitu pelet apung dan pelet tenggelam. Pelet apung biasanya mengandung protein yang lebih tinggi daripada pelet tenggelam. Sehingga, kebanyakan pembudidaya ikan lele memberikan pelet apung sejak awal hingga pertengahan masa budidaya, sedangkan pelet tenggelam hanya saat menjelang panen (Purwananti, 2020)

     Pemberian pakan untuk ikan yang akan dibudidayakan harus sesuai dengan kebutuhan konsumsi dan kuantitas dari ikan tersebut. Karena, jika pemberian pakan kurang dari kebutuhan akan terjadi kanibalisme dimana ikan akan memakan satu sama lain. Sementara jika pemberian pakan terlalu banyak akan menurunkan kualitas air sehingga diharuskan melakukan pergantian air lebih sering. Selain itu, sisa pakan akibat pemberian pakan berlebih yang tidak termakan oleh ikan akan menyebabkan datangnya bau tidak sedap pada media budidaya, mengingat kegiatan ini dapat dilakukan dirumah hal ini akan sangat mengganggu (Purwananti, 2020).

Mengenai waktu dan porsi untuk pemberian pakan untuk ikan dilakukan 3(tiga) kali sehari dengan waktu pagi hari (pukul 09.00 – 10.00), sore hari (15.00 – 16.00), dan malam hari (21.00 – 22.00). Paling baik pemberian pakan pada waktu pagi dan malam hari. Karena menurut food habit dan feeding habit, ikan lele merasa lapar pada pagi hari dan pemberian pakan pada malam hari merupakan waktu yang tepat karena dipahami bahwasannya ikan lele merupakan ikan nocturnal yaitu ikan yang aktif pada malam hari (Effendi, 1985). Meskipun begitu, disarankan pakan diberikan secara adlibitum (selalu tersedia) atau ketika pakan habis selalu ditambahkan lagi. Terutama untuk bibit ikan lele masa pembesaran/pertumbuhan.

 

2.        2. Manajemen Kualitas Air

Pengelolaan kualitas air untuk keperluan budidaya ikan lele dalam ember sangat penting, karena air merupakan media hidup bagi organisme akuakultur (Mulyanto, 1992 dalam Aquarista dkk, 2012). Kualitas air merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan budikdamber. Kualitas air merupakan suatu ukuran kondisi air yang dilihat dari kondisi fisik, kimiawi, dan biologisnya. Kualitas air adalah suatu kondisi media air yang sesuai bagi kegiatan budidaya ikan/organisme lain atau kondisi air yang memenuhi persyaratan ikan atau organisme lainnya untuk hidup. Kualitas air yang sesuai dengan kebutuhan hidup ikan lele dapat menunjang kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan lele.

    Hubungan antara kualitas air dengan tingkat produksi ikan dapat diukur dengan berbagai parameter seperti suhu, pH, oksigen terlarut, kecerahan air, dan Amoniak (NH 3 ) (SNI, 2014). Parameter tersebut tentunya mempunyai standar kelayakan yang harus diperhatikan. Kualitas air yang baik dapat mendukung pemeliharaan ikan lele sehingga dapat meningkatkan produktivitas ikan lele. Menurut SNI (2014) kisaran parameter suhu kualitas air untuk budidaya pembesaran adalah 25°C - 30°C. Pengukuran suhu dilakukan dengan cara menggunakan termometer yang dinyatakan dalam derajat celcius ( o C). Jika suhu pemeliharaan kurang dari kisar mengakibatkan aktivitas lele menjadi rendah dan nafsu makan berkurang, sehingga akan mengakibatkan pertumbuhan ikan lele menjadi lambat. Menurut Djoko (2006) suhu yang baik untuk budidaya ikan lele berkisar antara 24 – 30 o C.

        Menurut SNI (2014) pH produktif air untuk pertumbuhan bagi pembesaran lele adalah 6,5 – 8. Pengukuran pH air dilakukan dengan menggunakan pH meter atau pH indikator (kertas lakmus). Menurut Svobodova dkk., (1993) Kondisi pH optimal untuk ikan ada pada kisaran 6,5-8,5. Nilai pH di atas 9,2 atau kurang dari 4,8 bisa membunuh ikan. Menurut SNI (2014) jumlah oksigen terlarut yang layak dalam pembesaran ikan lele minimal sebesar 3 mg/l. Pengukuran oksigen terlarut ini dilakukan dengan menggunakan DO meter yang dinyatakan dalam miligram per liter (mg/l). Himawan (2008) menyatakan umumnya ikan lele hidup normal di lingkungan yang memiliki kandungan oksigen terlarut 4 mg/l.

        Menurut SNI (2014) kisaran kualitas air untuk kecerahan air dalampembesaran ikan lele adalah 25-30 cm. Pengukuran kecerahan air dilakukan dengan menggunakan Secchi disk, yang dimasukan ke dalam media pemeliharaan. Kecerahan dinyatakan dengan mengukur jarak antara permukaan air kepiringan saat pertama kali piringan tidak terlihat, piringan dimasukkan ke dalam air kemudian diangkat sampai terlihat kembali, dirataratakan, dan dinyatakan dalam sentimeter (cm).

     Menurut SNI (2014) kandungan amoniak maksimal dalam perairan budidaya untuk pembesaran lele adalah 0,1 mg/L. Amoniak akan berakibat akut pada konsentrasi 1.0-1.5 mg/L (Svobodova dkk., 1993). Amoniak ini sangat berbahaya dan mampu memicu timbulnya racun dan penyakit pada ikan. Budidaya ikan lele dalam ember tentunya memerlukan perhatian yang khusus dalam pemeliharaannya. Mengingat media pemeliharaan ikan lele yangmcukup terbatas. Kebutuhan kualitas air dalam pemeliharaan lele menjadi salah satu faktor yang sangat menentukan kelangsungan hidup ikan lele. Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas air adalah dengan sistem akuaponik. Menurut Wicaksana (2015) kadar amonia, nitrit dan nitrat di kolam ikan lele yang diberi akuaponik (biofilter) akan lebih rendah di bandingkan kolam yang konvensional tanpa pemberian akuaponik. Adanya akuaponik dalam sistem resirkulasi membuat kualitas air dapat dipertahankan dan memberi peluang untuk bakteri dapat tumbuh dan berkembang mengurai bahan-bahan organik dan anorganik yang berbahaya bagi kelangsungan hidup ikan. Menurut Nugroho (2008) Sistem akuaponik juga berpengaruh terhadap perbaikan kualitas air media pendederan ikan nila, khususnya reduksi kandungan ammonia (NH3). Selain sistem akuaponik, pemberian probiotik dalam pemeliharaan ikan lele pun dapat meningkatkan kualitas air. Teknologi probiotik merupakan salah satu alternatif dalam mengatasi masalah kualitas air dalam akuakultur yang diadaptasi dari teknik pengolahan limbah domestik secara konvensional (Avnimelech and Kochba, 2009). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa aplikasi teknologi probiotik berperan dalam perbaikan kualitas air, peningkatan biosekuriti, peningkatan produktivitas. peningkatan efisiensi pakan serta penurunan biaya produksi melalui penurunan biaya pakan (Avnimelech and Kochba, 2009). Pergantian air dalam budikdamber sistem akuoponik pada umumya dilakukan 10 – 14 hari sekali. Dengan penggunaan probiotik ini dapat meminimalisir pergantian air dalam budikdamber.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Budidaya Ikan dalam Ember (Budikdamber)

Budidaya Sayuran Hidroponik dan Aquaponik